Cerita pendek:
Panggung
Oleh : *Ahmad Suyudi
Malam ini, jika cuaca cerah dan hujan tidak turun,
orang akan kembali mendengar tembang durma
Aria Panangsang yang murka dan begitu merasa terhina
setelah dibacanya surat tantangan Hadiwijaya, Sultan Pajang.
***
Malam ini, jika bulan bersinar terang, orang akan kembali menyaksikan kepiawaian Mas Suroto beraksi di atas panggung sebagai Aria Panangsang.
Dan semata-mata hanya karena Mas Suroto-lah yang bakal menjadi pemeran tokoh Kanjeng Adipati Aria Panangsang, panggung Kethoprak malam ini bakal semarak. Lapangan terbuka di sisi utara balai desa Mendut yang dijadikan arena pagelaran pasti bakal dipadati penonton dari berbagai desa di sekitarnya. Mereka dapat dipastikan bakal antri sejak sore hari untuk berebut karcis terdepan hanya untuk menyaksikan Mas Suroto. Ya, untuk menyaksikan Mas Suroto.
Ya! Tentu saja hanya karena Mas Suroto. Lelaki muda yang tidak hanya jempolan di atas panggung mampu menghanyutkan setiap penonton ke alam cerita. Dia lelaki gagah dan tampan yang tak pernah sombong oleh ketenarannya. Dialah satu-satunya personil Grup Kethoprak Sangga Budaya yang paling tersohor dan dikagumi banyak orang. Bukan saja karena wajahnya yang tampan dan menawan, atau tubuhnya yang gagah dan sempurna, melainkan karena kehebatannya menjiwai setiap karakter peran yang tengah dilakonkannya di atas panggung. Semua orang telah mengenal siapa dirinya. Banyak penggemar jatuh hati kepadanya. Apalagi setelah beberapa kali dirinya ditulis oleh beberapa surat kabar lokal, diwawancarai oleh radio, dan televisi daerah, namanya kian melambung ke langit.
Tidaklah mengherankan kalau setiapkali sehabis pagelaran dirinya selalu dikejar-kejar penggemarnya, terutama gadis-gadis dan ibu-ibu, hanya sekadar untuk menyalami dan mengucapkan selamat saja.
Malam ini, jika bunyi tabuhan gamelan sampagan telah diperdengarkan dengan semarak dan bersemangat, tanda pagelaran akan segera dimulai, berarti sudah malam yang ketujuh kelompok Kethoprak Sangga Budaya itu manggung. Dan sudah tujuh malam pelataran di samping balai desa itu dipadati penonton yang berdatangan dari berbagai desa di sekitarnya.
Kalau saja malam itu yang menggelar pertunjukan bukan Sangga Budaya yang telah kondang itu, barangkali penonton tidak akan membludak berjubel. Atau seandainya saja Mas Suroto, si bintang panggung yang sedang moncer itu tidak dapat hadir dalam pementasan malam itu, sudah pasti jumlah penontonnya akan berkurang drastis. Dan memang dialah daya tarik dari setiap pagelaran.
Pernah suatu kali setelah pagelaran berjalan setengah babak, ada seorang perempuan separuh baya yang sejak sore sengaja memilih tempat di depan paling dekat dengan panggung, tiba-tiba berteriak histeris. Kegilaan perempuan itu terjadi hanya karena menyaksikan Joko Umbaran yang dilakonkan oleh Mas Suroto membopong Roro Wilis yang jelita dibawa menuju ke pondoknya. Kontan saja para Hansip segera mengamankan perempuan itu.
***
Malam itu udara benar-benar cerah, persis seperti yang diharapkan oleh banyak orang di arena pertunjukan Kethoprak. Langit biru dan bening. Beberapa gumpal kapas putih di barat daya, berkilauan. Bulan tanggal tigabelas bersinar terang. Persis seperti yang diharapkan oleh banyak orang di arena pertunjukan Kethoprak malam itu. Seakan langit pun mengerti apa yang diharapkan orang-orang di lapangan balai desa. Sementara itu bunyi gamelan perlahan-lahan mulai terdengar. Penonton di luar pagar arena tampak masih antre di depan loket penjualan tiket tanda masuk. Sedangkan di balik panggung, semua awak anggota Kethoprak Sangga Budaya bersiap-siap, ada yang membuka pakaian untuk berganti dengan kostum, ada yang sibuk berhias dan berdandan, saling bantu saling sibuk semuanya.
Di antara para pemain yang tengah sibuk itu tampaklah seorang perempuan muda bertubuh sintal dan berwajah cantik. Dialah Sunarti, salah seorang pemain yang juga andalan Sangga Budaya. Wanita duapuluh delapan tahunan itu sejak tadi tempak menempel terus di sisi Mas Suroto. Dia ikut sibuk membantu apa saja yang dicari dan dibutuhkan oleh Suroto.
”Aku pingin mengajakmu pergi besok pagi...,” ujar Sunarti setengah berbisik, sambil membenahi pakaian Mas Suroto.
”Hmm, ke mana...?”
”Ke mana saja. Pokoknya kita besok dapat istirahat dua malam. Warga Budaya dari Magelang akan menggantikan selama dua malam.”
”Kenapa mesti besok? Tidak bisa lain kali saja?”
”Tidak. Aku sudah kangen, Mas,” desis wanita cantik berleher jenjang itu. Tersenyum penuh harap kepada lelaki pujaannya.
Mas Suroto beranjak dan melangkah menuju tempat duduk. Matanya menatap wajah Sunarti yang memang malam itu cantik sekali. ”Tapi aku harus pulang dulu ke rumah. Tadi sore, adikku Wandi, menyusuliku agar segera pulang dulu setelah pertunjukan usai,” ujarnya setelah mendesah, gelisah.
”Besok saja Mas kau pulang!” desak Sunarti , ”jadi besok pagi kita bisa jalan-jalan dulu.”
Mas Suroto hanya menghela nafas panjang menanggapi ajakan Sunarti.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan keduanya, Karjo, yang sebenarnya sudah lama mengejar-ngejar Sunarti tapi tak pernah ditanggapi, menatap kedua sejoli itu dengan roman muka tak senang. Hatinya terus saja memanas menyaksikan makin lengketnya Sunarti dengan Mas Suroto.
Dendamnya yang lama terbendung di dalam hatinya kian menggelegak. Sunarti berbuat seolah-olah tidak tahu kelau tengah diperhatikan oleh Karjo.
Karjo sendiri adalah orang nomor dua yang paling lekat di hati penonton. Mereka berdua, antara Karjo dan Mas Suroto, selalu terjadi persaingan. Keduanya selalu berusaha saling menunjukan kebolehan dan atas panggung. Tak mengherankan kalau kemudian penggemar secara tidak langsung terbelah menjadi dua. Sebagian tertarik kepada Mas Suroto, sedang yang lainnya kepada Karjo.
Dalam kondisi sepperti itulah Karjo selalu berusaha terus untuk dapat merebut hati Sunarti dari Mas Suroto. Sunarti sendiri tak jarang mengalihkan perhatiannya kepada Karjo. Lebih-lebih jika Mas Suroto kebetulan sedang tidak dapat bermain karena suatu halangan, atau kebetulan mendapat kontrak dibon kelompok kethoprak lain.
Namun seringnya Mas Suroto mendapat peran utama dalam setiap pementasan juga telah menambah iri dan dendam Karjo.
***
Rembulan terus bersinar terang. Pentas telah dimulai. Layar lebar telah tersingkap, membuka panggung pagelaran. Penonton mulai dimabukkan oleh penampilan Mas Suroto yang malam itu melakonkan tokoh Aria Panangsang. Pemuda berusia tigapuluhan ini benar-benar memang memilliki pamor tersendiri di mata para penonton malam itu.
Meskipun semua penonton sudah tahu benar jalan cerita yang didasarkan kepada sejarah kisah gugurnya Adipati Aria Panangsang, mereka tetap saja selalu seperti menikmati cerita baru. Tiada bosan-bosannya mereka menikmati dan mengambil hikmat dari lakon hidup sang Adipati. Mereka semua tahu benar, bahwa malam itu Aria Panangsang bakal gugur di tangan Sutawijaya. Ya, malam ini adalah episode ketiga lakon Aria Penangsang Lena.
Sementara itu, di balik layar, di belakang panggung, Karjo yang malam itu mendapat peran sebagai Sutawijaya, tengah mendekati Sunarti. Dia merayu dan membujuknya.
”Nar, Nar..., kamu ini mbok jangan kebangetan toh Sunarti !” Karjo kehabisan akal, ”Suroto itu sudah ada anak istrinya yang menunggu di rumah.”
”Aku tahu,” sahut Sunarti, ketus.
”Kalau tahu, kenapa kamu terus saja ngedan kepadanya?”
”Hhh! Memang orang bercinta mesti kawin, dan merebut istri orang?”
”Hm, bagaimana kalau besok pagi pergi jalan-jalan denganku saja?” Karjo merajuk.
”Aku sudah terlanjur janji dengan Mas Suroto , Kang.”
”Nar, apa kamu ndak tahu, tadi sore itu, Soroto disusuli, besok pagi dia harus pulang. Anaknya yang kecil sakit keras...,”
”Ya, ya... aku tahu. Tapi Mas Suroto mau pulang besok sore. Paginya akan berjalan-jalan dulu denganku.”
Karjo hanya mampu menghela nafas berat begitu mendengar jawaban Sunarti. Sementara itu Tembang Durma dari mulut sang Aria Panangsang telah terdengar, diiringi alunan gamelan menggiriskan hati yang mendengarnya. Tembang yang syairnya menyiratkan amarah dan kemurkaan itu terasa menggetarkan dan penuh perbawa. Semua penonton terkesimak. Mereka tersihir. Terhipnotis. Semua terpaku diam. Satu-persatu mereka dimabukkan oleeh kewibawaan yang terpancar dalam diri Aria Panangsan. Inilah bukti kematangan penokohan yang melekat pada diri Mas Suroto.
Apa yang mereka lihat adalah sang Aria Penangsang yang menggebrak meja penuh sesuguhan perjamuan hingga berantakan. Bangkit berdiri sang Adipati Aria Panangsang sambil merobek nawala yang baru saja dibacanya. Dan dengan mata yang nanar menatap jauh, seakan hendak mengirimkan kemarahannya yang menggelegak di dadanya itu kepada Sultan Pajang yang telah meremehkn dirinya dengan mengirimkan surat tantangan perang itu.
Sementara itu pula, Sutawijaya tengah bersiap-siap bersama para bala tentaranya, prajurit dan tamtama, menyongsong kemarahan Aria Panangsang di medan laga. Taktik dan siasat, serta rencana tipu muslihat telah rapih disimpannya di dalam benaknya. Segala macam petuah dan nasehat, rajah dan azimat, ditiupkan oleh sang Penasehat Ki Ageng Pamanahan lalu digengamnya di dalam jiwa raganya.
Ya, benar, Sutawijaya. Bocah ingusan itu sudah bersiap menghadapi kedigdayaan penguasa dari Jipang, Adipati Aria Panangsang.
Dengan sikap penuh ksatria dan perwira Aria Panangsang mengayunkan langkah menuju kudanya. Semua penonton membayangkan betapa gagah beraninya Aria Panangsang menggebah kudanya menuju ke medan laga. Hatinya penuh kemarahan. Harga dirinya merasa dilecehkan. Tanah Jipang bumi persada yang subur dalam genggamannya.
Mengiringi langkah sang Perwira, para panjak menabuh gamelan yang berirama sampagan. Penuh semangat. Semangat pahlawan yang menuju ke medan peran. Dari lapangan, di depan panggung pertunjukkan, terdengar tepuk tangan dan tempik sorak para penonton melontarkan dorongan semangat dan kekaguman kepada pujaannya, sang Aria Panangsang.
”Nar..., Narti!: Karjo masih sempat mengingatkan Sunarti sebelum kakinya menginjak tangga menuju panggung. ”Ingat, Nar, akulah yang harus menang melawan Panangsang! Aria Panangsang harus mati di ujung tombakku ini!”
”Alaah...! Gombal!” sahut Sunarti seraya mencibir.
Tepuk tangan penonton masih terdengar menghantarkan keberangkatan Aria Panangsang menuju medan laga. Kendatipun mereka semua tahu benar saat itulah Aria Panangsang akan menemui ajalnya di medan laga. Namun setiap penonton yang paham dan teliti menyimaknya jalan cerita peperangan yang penuh intrik dan kecurangan politik ini pasti akan senantiasa ingat, bahwa kematian Aria Panangsang Bukan lantaran ujung tombak milik Sutawijaya. Bukan! Mereka akan selalu ingat tragedi Aria Panangsang itu. Bahwa Aria Panangsang mati oleh sebab dirinya terlena. Ya, terlena.
Saat pertarungan sengit berlangsung, Aria Panangsang terlalu menganggap remeh lawannya yang selalu dianggapnya bocah masih ingusan. Di tengah keterlenaannya itu tombak Sutawijaya berhasil menembus perutnya. Usus di perut seketika itu terburai keluar. Namun bukan Aria Panangsang kalau hanya karena ususnya terburai lalu tewas. Dirinya bukan orang sembarangan yang membuatnya pantas menjadi asipati. Dia seorang yang memiliki kesaktian dan ilmu kanuragan yang tinggi. Beberapa peperangan dimenangkannya. Dan rakyat menghormatinya. Maka ketika usus dari perutnya terburai keluar dia masih mampu menghadapi perlawanan Sutawijaya. Namun usus-usus perutnya yang terburai menjadi gangguan. Ditariknya usus itu lalu disangkutkan ke gagang keris yang terselip di pinggang belakang.
Pertarungan tetap berjalan sengit. Bukan Aria Panangsang yang kewalahan karena dirinya sudah terluka parah dengan usus terburai di perutnya. Sebaliknya, justru Sutawijaya-lah yang akhirnya keteter hingga Aria Panangsang berhasil memukulnya jatuh. Sutawijaya terjungkal ke tanah oleh pukulan telak Aria Panangsang. Tak ingin memberi ampun kepada lawannya, Adipati Jipang itu langsung merangsek dan menginjak pemuda Sutawijaya. Dan karena kemarahan yang sudah memuncak di kepala, Aria Panangsang langsung melolos keris dari sarungnya yang terselip di pinggang belakang. Seketika itu juga Aria Panangsang tersentak kaget. Matanya terbelalak lebar. Usus-usu itu putus teriris oleh ketajaman mata keris yang ditarik dari sarungnya. Dia lupa. Dia lena kalau usus-ususnya tadi disampirkan ke gagang keris yang terselip di pinggang belakang.
Tapi tidak malam itu! Cerita telah berubah total dari pakemnya. Karjo yang dikenal canggih dalam berakting akan mengubah total permainannya dengan melakukan improvisasi untuk mendapatkan greget yang lebih pada saat menghabisi nyawa Aria Panangsang. Inilah puncak dari permainan teaterikal yang belum pernah dilakukannya. Juga belum pernah dilakukan oleh pemain kethoprak mana pun.
Karjo dalam kapasitasnya sebagai Sutawijaya, tiba-tiba melompat ke atas panggung tanpa melewati anak-anak tangga yang telah disiapkan. Dari sini semua penonton menyaksikan improvisasi awal Karjo yang mengagetkan.
”Jo..., Karjo!” Terdengar suara dalang yang mengatur lakon, berteriak memanggil Karjo, ”Belum..., belum waktunya keluar, Jo! Penangsang belum mundur! Tunggu, sebent...!”
Terlambat! Karjo, sang Sutawijaya, sudah muncul di atas panggung, yang settingnya belum berubah, yakni ruangan keprabon Aria Panangsang. Meja kursi dan makanan tampak masih berserakan, berantakan, oleh kemarahan Aria Panangsang tadi. Tembang Durma belum usai sampai bait yang terakhir. Jalan pikiran para penonton telah melayang mendahului alur cerita, karena sebenarnya kisah ini telah melekat kuat di benak mereka. Sehingga kendati pun Aria Panangsang belum rampung melantunkan tembang kemarahannya itu, semua penonton sudah membayangkan adegan berikutnya.
Tetapi tidak malam itu! Tiba-tiba Sutawijaya sudah muncul di atas panggung berhadapan dengan Aria Panangsang di dalam ruangan keprabon, bukan di medan laga! Seketika itu juga semua penonton pun tersentak kaget. Mata mereka terbeliak heran.
”Hei! ”
”Hah?”
”Apa-apaan itu?!”
Beberapa penonton berteriak, tak mampu menyembunyikan rasa kaget dan herannya.
”Jangan ngawur! ... jangan emosi! Ngawur!”
”Hei, Mas Suroto! Jangan emosi! Jangan ngawur!”
Terlambat! Ujung tombak Sutawijaya terlanjur menghujam ke dada Aria Panangsang. Tentu saja juru rias pun belum mengatur usus palsu yang mestinya dikenakan oleh Mas Suroto nanti dalam adegan peperangan. Beberapa kali Sutawijaya menghujamkan tombaknya ke dada dan perut Aria Panangsang . Seketika darah segar muncrat membasahi tubuh Aria Panangsang dan berceeceran di atas panggung. Ini bukan permainan sandiwara!
Semua penonton terpana. Sekejap mereka bisu. Kaget. Tubuh Mas Suroto limbung, sempoyongan, berlumuran darah. Terdengar rintihan keras dari mulutnya sebelum akhirnya tubuhnya jatuh tersungkur di atas panggung. Meradang dan mengerang kesakitan. Darah mengalir dan berceceran di atas panggung. Darah mengalir di tombak dan di tangan Karjo. Suara gamelan terhenti seketika berganti dengan suara gaduh penonton bercampur teriak histeris ketakutan orang-orang yang panik begitu mereka semua menyadari apa yang telah terjadi.
”Katiwasan.. katiwasan...!”
”Ha ha ha ha...! Akulah Sutawijaya...! Aku Sutawijaya!” teriak Karjo dengan sekuat tenaga seperti orang kesetanan. Berdiri tegak di sudut kanan panggung, tanpa keder dan takut menatap para penonton yang menyerbu ke arahnya. Mereka semua dengan geram, heran, dan marah segera meringkus Karjo dan menyeretnya. Sementara yang lainnya saling berebutan ingin melihat dan memberi pertolongan kepada Mas Suroto yang terkapar berlumuran darah di atas panggung.
Cuaca cerah berubah redup. Di langit biru bulan menyusup di antara awan-awan putih yang menghadangnya. Orang-orang mendadak bisu. Mereka tak mampu berteriak, atau bertepuk tangan lagi mengelu-elukan sang pujaan. Namun tak lama gemuruh mulut-mulut penonton yang kecewa bercampur geram terdengar. Mereka seperti baru terjaga dari sebuah mimpi buruk.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar